AYAH
By: Intan Laksitadewi
Tiba disuatu titik aku harus
meluapkan semua. Entah itu gembira, bahagia, tangis, dan amarah. Aku bukan tipe
pencurhat andal yg mencari sosok orang kuat yang mau mendengar kisahku.
Seringkali lebih nyaman dengan membasuh tubuh dengan aliran air segar, menggelar
sajadah dilonggaran waktu yg terkadang sunyi. Menceritakan semua kisah yang
sesungguhnya tidak perlu karena kutahu Dia telah mengetahuinya. Sampai saat
ini, disela sujud-sujud panjangku aku meluapkan segala harapan-harapan
terbaikku. Semua orang ingin memiliki hidup yang bahagia dan penuh manfaat. Akupun
sama, hanya saja tercatat seuntai kalimat yang membedakan aku dengan doa-doa
orang lain. Seuntai kalimat yang khusyu’, khusus kupersembahkan untuk sosok
lelaki. Lelaki malang yang menemani tawa tangisku setiap waktu. Doaku, untaian
kalimat penuh harapan teristimewa untuk ayah. Bukan malang karena hidup yang
sengsara. Bukan pula kemalangan karena kemiskinan. Terlebih dari itu, ayah
telah terjebak dalam pikiran semu. Ayah terbelenggu oleh asumsi negatif tentang
dirinya sendiri. Hingga ketitik terdalam dari kepesimisannya, ayah ku menjadi
orang yang paling malang. Sekali lagi kukatakan, bukan karena kesengsaraan
hidup atau kemiskinan. Lebih sakral, lebih mendalam, lebih dari segalanya.
Pesimisnya telah mengakar menyeretnya untuk lepas dari keimanan seorang muslim.
Hal yang paling dasar, dan sekaligus paling penting dari apapun. Bukan ayahku
menjadi kafir. Entah akupun tak tahu bagaimana seseorang bisa dikatakan kafir.
Yang kutahu ayah tetap memeluk agama haq yaitu islam. Ktp, riwayat hidup, KK,
semua itu telah menjelaskan yg paling nyata bahwa ayahku seorang muslim. Tak
bisa ditentang lagi, semua sudah tercatat. Resmi dan legal.
Semua kisah, berawal dari sini.
Keimanan yang mungkin sedang berkecambah, mulai dilanda krisis kurang air
sehingga matilah kecambah itu. Tak menghasilkan apapun. Tak satupun dapat
membawa manfaat bagi sekitarnya. Terkecuali bagi hewan mikro yang mulai
menyantap kecambah busuk, tanpa pernah kecambah itu punya kesempatan untuk
memulai hidup sebagai tumbuhan yang nyata. Energi penyokongnya telah hilang,
bagaimanapun proses untuk tetap tumbuh tak dimungkinkan lagi. Inilah yang
terjadi pada ayah. Keimanan bagai energi penyokongnya yang secara perlahan
menguap. Bahkan menghilang samasekali. Selang sewaktu, energi penyokong itu
datang menyejukan jiwa namun secepat itupula menghilang dengan berbagai
pertanyaan konyol yang sudah tentu tidak perlu dipertanyakan. Bisa dibayangkan,
seorang muslim yang masih mempertanyakan kebenaran al-qur’an tentu hidupnya tak
kan mampu khusyu’. Terbawa angin tanpa ada penguat jiwa. Ibadahnya pun masih
ragu. Bagaimana bisa diterima ibadahnya, jika hati kecilnya mengingkari, ada
semburat jiwa yg ragu, takut jika agama yang haq dari Allah SWT ini adalah
agama yang salah. Astaghfirullah haladzim. Roda terus berputar, begitupun hidup
terus berputar, kadang dibawah kadang diatas. Tak mengertikah ayah bahwa hidup
tak selalu mulus? Hingga muncul lagi pertanyaan konyol. Dimanakah kuasa Tuhan?
Padahal jelas dalam kumpulan suhuf-Nya, Allah telah berjanji tidak akan memberi
cobaan melebihi kemampuan manusia itu. Tinggal yakin tidaknya hanya manusia itu
dan Allah-lah yang mengetahui. Kunci dari semuanya adalah yakin dan percaya.
Menengok ke belakang, terawal mula
ayah tumbuh, dididik, dan mendapat berbagai ilmu kehidupan. Ayah memang sejak
lahir tergolong malang. Keluarga memang islam, tapi bukan islam. Jangan dipikir
keluarga ini kacau, semrawut atau yang sejenisnya. Bukan seperti itu. Justru
keluarga asal dari ayah memiliki kehidupan menyenangkan. Dilingkupi dengan
materi yang cukup, kasih sayang pun mengalir dari kedua orang tua ayah yang
serba perfectionist. Kakek nenekku kuakui orang orang yang hebat, tapi
ketahuilah sesempurna apapun manusia, sisi kelamnya pasti nyata. Tak ada gading
yang tak retak. Begitulah, orangtua ayah menumbuhkan anak-anak mereka dengan
semangat belajar, kejujuran, dan saling pengertian. Banyak yang telah terdaftar
dalam lembaran angan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sukses. Gemilang
meraih mimpi yang cemerlang. Merawat kelima anak termasuk pula ayah dengan
berbagai sarana prasarana yang lebih dari cukup. Aku bisa membayangkan, kakek
nenek benar-benar couple yang kompak dan sejalan. Mereka mampu keluar dari
belenggu ketradisionalan orang zaman perang. Menciptakan gaya hidup yang
condong glamor, dan penuh dengan kebebasan berkreasi. Kelima anak dibekali
berbagai ilmu dan keterampilan khusus sesuai minat masing-masing. Kesenangan
membaca, menyulam, bermusik, melukis, berburu, bahkan hobi yang unik seperti
bercocok tanam semua diberi kebebasan serta fasilitas untuk mengembangkannya.
Aku bangga, ayah memiliki bakat bermusik dan melukis. Seringkali dulu kudengar
alunan organ di sore hari. Kala semua masih terasa lapang. Ketika waktu
menjelang isya’ dengan girangnya aku pulang dari les, menghambur masuk kerumah
penuh kehangatan, diiringi riangnya alunan musik dari petikan jemari ayah pada
dawai gitar alegro. Ibu, yang pandai mengolah makanan apapun, membawa jajanan
ala kadarnya. Apapun yang ada dikulkas, jika berada di tangan ibu bisa tercipta
berbagai kreasi. Mulai dari yang sederhana seperti pisang goreng, kue
samarinda, keripik tahu, dan yang paling menyenangkan hati si bulat hijau isi
gula merah, klepon. Semua terasa indah.
Hidupku, hidup ayah, memang selalu
indah sampai inilah waktu tibanya berbagai problema. Tunggu, belum waktunya
membahas cerita masa kini. Kembali ke kilasan masa lampau, orangtua ayah memang
benar-benar ingin meluluskan kelima anaknya menjadi orang yang sukses. Cita-cita
tinggi tak pernah lepas dari ilmu yang diperoleh dari bangku sekolah. Sesuai
angan yang sudah tertata, ayah didaftarkan Sekolah Dasar Kristen. Dulu, sekolah
swasta lebih baik kualitasnya dibanding sekolah negeri. Saat itu ayah masuk SD
kristen karena kebetulan letaknya yang paling dekat dengan tempat tinggal.
Sebenarnya, SD bukanlah waktu yang tepat untuk memulai menata masa depan.
Mungkin hanya kecil pengaruhnya untuk profesi kita kelak. Tapi nyatanya, bangku
SD justru sangat penting untuk mulai membangun karakter. Tanpa sadar, kemurnian
jiwa islami ayah yang seharusnya mulai dipupuk justru ditempatkan pada tempat
yang salah.
Dari cerita-cerita lawas yang
kudengar, ayah dulu senang dengan acara-acara sekolah minggu, bernyanyi,
berkumpul bersama teman yang memang begitulah lingkungan ayahku semasa kecil.
Aku tidak bermaksud mengucilkan agama lain, tapi yang kupikir selama ini, dasar
pengetahuan agama yang kurang pasti akan membangun karakter yang lemah. Dan
inilah yang sangat kusayangkan karena terjadi pada ayahku sendiri. Banyak ilmu
keislaman yang seharusnya mulai diterapkan, justru mulai tenggelam dan
terabaikan. Terlebih orangtua ayah yang tidak begitu saklek dengan ajaran
agama. Mereka lebih condong untuk fokus menata masa depan karir yang bersifat
duniawi. Namun aku tidak sepenuhnya menyalahkan kakek nenek, karena setahuku,
dari kisah-kisah masa kecil ayah yang kudengar dari penuturan ayah sendiri,
kakek nenek bertanggungjawab atas pembangunan karakter islami dengan menyewa
guru ngaji. Setiap sore, kelima anak yang umurnya hampir sebaya mengaji. Tapi
itu tak berlangsung lama karena tak ada dorongan atau motivasi kuat untuk terus
menyewa guru ngaji itu. 6 tahun berlalu, usia ayah sudah 12 tahun. Yang
kuperkirakan ayah pasti tak pernah tau kisah-kisah tentang nabi dalam islam
yang sering kudengar dari guru agama islamku disekolah dasar negeri. Kisah
teladan para pengikut nabi, dan peristiwa-peristiwa bersejarah dalam islam yang
sangat baik untuk membangun akhlak islami. Yang kuyakini lagi mungkin ayah
tidak dapat membaca huruf hijaiyah. Sungguh malang, karena ayah tidak punya
kesempatan untuk mempelajarinya.
Mungkin hati kalian akan bertanya,
bagaimana aku bisa tahu begitu banyak tentang kisah ayahku di masa kecil?
Sementara aku sendiri tentu belum ada di dunia ini. Aku mendengarnya lewat obrolan-obrolan
bersama ayah, yang secara tidak langsung menggambarkan kehidupan ayah waktu
kecil. Mungkin ayah bermaksud untuk mengajarkanku nilai-nilai kehidupan yang
baik seperti kejujuran, semangat belajar, pantang menyerah, toleransi, dan
sebaginya. Hal-hal inilah yang membawaku terbang bersama imajinasiku sendiri
untuk menyelami kehidupan ayah di masa kecil.
Sekarang ini, aku hanya bisa
menyimpulkan bahwa semua yang terjadi di masa kecil kita akan mempengaruhi
kehidupan kita di masa mendatang. Contoh kehidupan ayah yang memang kurang landasan
agama membuat ayah memiliki sifat yang sangat kusayangkan. Tapi bukankah tidak
ada orang yang sempurna? Setidaknya aku hanya ingin menjadikan ayah sebagai
panutanku dalam menjaga keimanan. Namun, selalu justru aku yang sepertinya
harus bertugas untuk itu. Aku harus mencari cara supaya ayah mau menjadi imam
yang nyata dalam setiap sholat kami. Aku harus meyakinkan ayah bahwa meskipun
beliau ‘tidak pandai agama’, beliau tetap mempunyai kewajiban untuk mendidik
kami-anaknya, dan tentu mendidik ibuku. Namun, kewajiban-kewajiban seperti
diatas yang fitrahnya ditujukan untuk laki-laki sepertinya dianggap angin lalu
saja oleh ayah.
Selain kurangnya peran ayah dalam
mendidik kami dalam masalah agama, sifat lain yang kusayangkan adalah bahwa
dimataku ayah adalah sosok yang kurang percaya diri. Entah apa yang terjadi
pada beliau, ayah menjadi sosok yang takut memperjuangkan haknya. Ayah selalu
mengalah dan mengalah jika dihadapkan pada keadaan yang menyalahkannya
sementara beliau sebenarnya berada di pihak yang benar. Alhasil, ayah bukan
menjadi pribadi yang semakin dekat dengan-Nya, justru seperti menjadi frustasi
terhadap apa yang menimpa keluarga kami. Tidak perlu dijelaskan, intinya
kondisi perekonomian keluarga kami sedang jatuh-jatuhnya. Ayah menjadi pesimis,
dan mengabaikan pentingnya silaturahmi dengan keluarga dekat maupun keluarga
jauh, apalagi dengan teman-temannya. Beliau seperti menganggap bahwa dunia ini
kejam dan tidak ada lagi hal penting selain berusaha keras membangun lagi
bisnisnya seorang diri. Tapi sekali lagi, semua hal yang kita lakukan tanpa
melibatkan Tuhan pasti hasilnya akan nihil, karena kita mengabaikan kuasa
Tuhan. Tidak percaya akan pertolongan Allah akan membuat diri kita menjadi
stres dan rohani menjadi tidak bahagia. Aku menyayangkan hal itu. Seandainya
ayah adalah sosok yang ‘tau agama’, tentu beliau akan tetap tegar menjalani
semua dengan tetap berpikir positif. Selain itu, hati juga akan terasa lebih
damai dengan percaya akan adanya pertolongan Allah. Efek lain, tentu ayah tidak
akan menutup diri menjadi seperti sekarang ini, karena agama Islam telah
mengajarkan bahwa kunci sukses salah satunya adalah dengan memperkuat tali
silaturahmi.
Ayah bukan orang jahat. Beliau justru
terlampau sabar mengurus anak-anaknya dibandingkan dengan ayah lain. Setidaknya,
itu menurutku. Ayah sudah terbiasa bermain dengan perabot dapur untuk membuat
kami kenyang ketika ibu sedang memiliki kesibukan lain. Bagi ayah, menjaga
kebersihan rumah juga bukan tanggung jawab ibu rumah tangga semata. Nyatanya,
dengan ringan hati ayah bisa menyapu halaman rumah hingga bersih dalam sekejap,
tanpa babibu. Ayah tidak takut dan tidak pernah ragu untuk membantu menyelesaikan
pekerjaan rumah seperti membersihkan toilet, menguras bak, membersihkan debu,
dan sebagainya.Hal-hal inilah yang membuat rasa sayangku terhadap ayah semakin
besar. Aku tahu, bahwa ayah bisa menjadi pribadi yang lebih kuat jika mau
mengenal lebih dalam tentang Islam. Maka, kutetapkan di dalam hati ini, bahwa
bagaimanapun keadaan ayah sekarang, aku akan terus menghormatinya dan sebisa
mungkin mendoakannya semoga semua problema di kehidupan kami tidak semakin
menjauhkan ayah dari-Mu Ya Rabb… Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar