Senin, 04 September 2017

Cerpen Fiksi



 AYAH 

By: Intan Laksitadewi

 
Tiba disuatu titik aku harus meluapkan semua. Entah itu gembira, bahagia, tangis, dan amarah. Aku bukan tipe pencurhat andal yg mencari sosok orang kuat yang mau mendengar kisahku. Seringkali lebih nyaman dengan membasuh tubuh dengan aliran air segar, menggelar sajadah dilonggaran waktu yg terkadang sunyi. Menceritakan semua kisah yang sesungguhnya tidak perlu karena kutahu Dia telah mengetahuinya. Sampai saat ini, disela sujud-sujud panjangku aku meluapkan segala harapan-harapan terbaikku. Semua orang ingin memiliki hidup yang bahagia dan penuh manfaat. Akupun sama, hanya saja tercatat seuntai kalimat yang membedakan aku dengan doa-doa orang lain. Seuntai kalimat yang khusyu’, khusus kupersembahkan untuk sosok lelaki. Lelaki malang yang menemani tawa tangisku setiap waktu. Doaku, untaian kalimat penuh harapan teristimewa untuk ayah. Bukan malang karena hidup yang sengsara. Bukan pula kemalangan karena kemiskinan. Terlebih dari itu, ayah telah terjebak dalam pikiran semu. Ayah terbelenggu oleh asumsi negatif tentang dirinya sendiri. Hingga ketitik terdalam dari kepesimisannya, ayah ku menjadi orang yang paling malang. Sekali lagi kukatakan, bukan karena kesengsaraan hidup atau kemiskinan. Lebih sakral, lebih mendalam, lebih dari segalanya. Pesimisnya telah mengakar menyeretnya untuk lepas dari keimanan seorang muslim. Hal yang paling dasar, dan sekaligus paling penting dari apapun. Bukan ayahku menjadi kafir. Entah akupun tak tahu bagaimana seseorang bisa dikatakan kafir. Yang kutahu ayah tetap memeluk agama haq yaitu islam. Ktp, riwayat hidup, KK, semua itu telah menjelaskan yg paling nyata bahwa ayahku seorang muslim. Tak bisa ditentang lagi, semua sudah tercatat. Resmi dan legal.
Semua kisah, berawal dari sini. Keimanan yang mungkin sedang berkecambah, mulai dilanda krisis kurang air sehingga matilah kecambah itu. Tak menghasilkan apapun. Tak satupun dapat membawa manfaat bagi sekitarnya. Terkecuali bagi hewan mikro yang mulai menyantap kecambah busuk, tanpa pernah kecambah itu punya kesempatan untuk memulai hidup sebagai tumbuhan yang nyata. Energi penyokongnya telah hilang, bagaimanapun proses untuk tetap tumbuh tak dimungkinkan lagi. Inilah yang terjadi pada ayah. Keimanan bagai energi penyokongnya yang secara perlahan menguap. Bahkan menghilang samasekali. Selang sewaktu, energi penyokong itu datang menyejukan jiwa namun secepat itupula menghilang dengan berbagai pertanyaan konyol yang sudah tentu tidak perlu dipertanyakan. Bisa dibayangkan, seorang muslim yang masih mempertanyakan kebenaran al-qur’an tentu hidupnya tak kan mampu khusyu’. Terbawa angin tanpa ada penguat jiwa. Ibadahnya pun masih ragu. Bagaimana bisa diterima ibadahnya, jika hati kecilnya mengingkari, ada semburat jiwa yg ragu, takut jika agama yang haq dari Allah SWT ini adalah agama yang salah. Astaghfirullah haladzim. Roda terus berputar, begitupun hidup terus berputar, kadang dibawah kadang diatas. Tak mengertikah ayah bahwa hidup tak selalu mulus? Hingga muncul lagi pertanyaan konyol. Dimanakah kuasa Tuhan? Padahal jelas dalam kumpulan suhuf-Nya, Allah telah berjanji tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan manusia itu. Tinggal yakin tidaknya hanya manusia itu dan Allah-lah yang mengetahui. Kunci dari semuanya adalah yakin dan percaya.
Menengok ke belakang, terawal mula ayah tumbuh, dididik, dan mendapat berbagai ilmu kehidupan. Ayah memang sejak lahir tergolong malang. Keluarga memang islam, tapi bukan islam. Jangan dipikir keluarga ini kacau, semrawut atau yang sejenisnya. Bukan seperti itu. Justru keluarga asal dari ayah memiliki kehidupan menyenangkan. Dilingkupi dengan materi yang cukup, kasih sayang pun mengalir dari kedua orang tua ayah yang serba perfectionist. Kakek nenekku kuakui orang orang yang hebat, tapi ketahuilah sesempurna apapun manusia, sisi kelamnya pasti nyata. Tak ada gading yang tak retak. Begitulah, orangtua ayah menumbuhkan anak-anak mereka dengan semangat belajar, kejujuran, dan saling pengertian. Banyak yang telah terdaftar dalam lembaran angan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sukses. Gemilang meraih mimpi yang cemerlang. Merawat kelima anak termasuk pula ayah dengan berbagai sarana prasarana yang lebih dari cukup. Aku bisa membayangkan, kakek nenek benar-benar couple yang kompak dan sejalan. Mereka mampu keluar dari belenggu ketradisionalan orang zaman perang. Menciptakan gaya hidup yang condong glamor, dan penuh dengan kebebasan berkreasi. Kelima anak dibekali berbagai ilmu dan keterampilan khusus sesuai minat masing-masing. Kesenangan membaca, menyulam, bermusik, melukis, berburu, bahkan hobi yang unik seperti bercocok tanam semua diberi kebebasan serta fasilitas untuk mengembangkannya. Aku bangga, ayah memiliki bakat bermusik dan melukis. Seringkali dulu kudengar alunan organ di sore hari. Kala semua masih terasa lapang. Ketika waktu menjelang isya’ dengan girangnya aku pulang dari les, menghambur masuk kerumah penuh kehangatan, diiringi riangnya alunan musik dari petikan jemari ayah pada dawai gitar alegro. Ibu, yang pandai mengolah makanan apapun, membawa jajanan ala kadarnya. Apapun yang ada dikulkas, jika berada di tangan ibu bisa tercipta berbagai kreasi. Mulai dari yang sederhana seperti pisang goreng, kue samarinda, keripik tahu, dan yang paling menyenangkan hati si bulat hijau isi gula merah, klepon. Semua terasa indah.
Hidupku, hidup ayah, memang selalu indah sampai inilah waktu tibanya berbagai problema. Tunggu, belum waktunya membahas cerita masa kini. Kembali ke kilasan masa lampau, orangtua ayah memang benar-benar ingin meluluskan kelima anaknya menjadi orang yang sukses. Cita-cita tinggi tak pernah lepas dari ilmu yang diperoleh dari bangku sekolah. Sesuai angan yang sudah tertata, ayah didaftarkan Sekolah Dasar Kristen. Dulu, sekolah swasta lebih baik kualitasnya dibanding sekolah negeri. Saat itu ayah masuk SD kristen karena kebetulan letaknya yang paling dekat dengan tempat tinggal. Sebenarnya, SD bukanlah waktu yang tepat untuk memulai menata masa depan. Mungkin hanya kecil pengaruhnya untuk profesi kita kelak. Tapi nyatanya, bangku SD justru sangat penting untuk mulai membangun karakter. Tanpa sadar, kemurnian jiwa islami ayah yang seharusnya mulai dipupuk justru ditempatkan pada tempat yang salah.
Dari cerita-cerita lawas yang kudengar, ayah dulu senang dengan acara-acara sekolah minggu, bernyanyi, berkumpul bersama teman yang memang begitulah lingkungan ayahku semasa kecil. Aku tidak bermaksud mengucilkan agama lain, tapi yang kupikir selama ini, dasar pengetahuan agama yang kurang pasti akan membangun karakter yang lemah. Dan inilah yang sangat kusayangkan karena terjadi pada ayahku sendiri. Banyak ilmu keislaman yang seharusnya mulai diterapkan, justru mulai tenggelam dan terabaikan. Terlebih orangtua ayah yang tidak begitu saklek dengan ajaran agama. Mereka lebih condong untuk fokus menata masa depan karir yang bersifat duniawi. Namun aku tidak sepenuhnya menyalahkan kakek nenek, karena setahuku, dari kisah-kisah masa kecil ayah yang kudengar dari penuturan ayah sendiri, kakek nenek bertanggungjawab atas pembangunan karakter islami dengan menyewa guru ngaji. Setiap sore, kelima anak yang umurnya hampir sebaya mengaji. Tapi itu tak berlangsung lama karena tak ada dorongan atau motivasi kuat untuk terus menyewa guru ngaji itu. 6 tahun berlalu, usia ayah sudah 12 tahun. Yang kuperkirakan ayah pasti tak pernah tau kisah-kisah tentang nabi dalam islam yang sering kudengar dari guru agama islamku disekolah dasar negeri. Kisah teladan para pengikut nabi, dan peristiwa-peristiwa bersejarah dalam islam yang sangat baik untuk membangun akhlak islami. Yang kuyakini lagi mungkin ayah tidak dapat membaca huruf hijaiyah. Sungguh malang, karena ayah tidak punya kesempatan untuk mempelajarinya.
Mungkin hati kalian akan bertanya, bagaimana aku bisa tahu begitu banyak tentang kisah ayahku di masa kecil? Sementara aku sendiri tentu belum ada di dunia ini. Aku mendengarnya lewat obrolan-obrolan bersama ayah, yang secara tidak langsung menggambarkan kehidupan ayah waktu kecil. Mungkin ayah bermaksud untuk mengajarkanku nilai-nilai kehidupan yang baik seperti kejujuran, semangat belajar, pantang menyerah, toleransi, dan sebaginya. Hal-hal inilah yang membawaku terbang bersama imajinasiku sendiri untuk menyelami kehidupan ayah di masa kecil.
Sekarang ini, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa semua yang terjadi di masa kecil kita akan mempengaruhi kehidupan kita di masa mendatang. Contoh kehidupan ayah yang memang kurang landasan agama membuat ayah memiliki sifat yang sangat kusayangkan. Tapi bukankah tidak ada orang yang sempurna? Setidaknya aku hanya ingin menjadikan ayah sebagai panutanku dalam menjaga keimanan. Namun, selalu justru aku yang sepertinya harus bertugas untuk itu. Aku harus mencari cara supaya ayah mau menjadi imam yang nyata dalam setiap sholat kami. Aku harus meyakinkan ayah bahwa meskipun beliau ‘tidak pandai agama’, beliau tetap mempunyai kewajiban untuk mendidik kami-anaknya, dan tentu mendidik ibuku. Namun, kewajiban-kewajiban seperti diatas yang fitrahnya ditujukan untuk laki-laki sepertinya dianggap angin lalu saja oleh ayah.  
Selain kurangnya peran ayah dalam mendidik kami dalam masalah agama, sifat lain yang kusayangkan adalah bahwa dimataku ayah adalah sosok yang kurang percaya diri. Entah apa yang terjadi pada beliau, ayah menjadi sosok yang takut memperjuangkan haknya. Ayah selalu mengalah dan mengalah jika dihadapkan pada keadaan yang menyalahkannya sementara beliau sebenarnya berada di pihak yang benar. Alhasil, ayah bukan menjadi pribadi yang semakin dekat dengan-Nya, justru seperti menjadi frustasi terhadap apa yang menimpa keluarga kami. Tidak perlu dijelaskan, intinya kondisi perekonomian keluarga kami sedang jatuh-jatuhnya. Ayah menjadi pesimis, dan mengabaikan pentingnya silaturahmi dengan keluarga dekat maupun keluarga jauh, apalagi dengan teman-temannya. Beliau seperti menganggap bahwa dunia ini kejam dan tidak ada lagi hal penting selain berusaha keras membangun lagi bisnisnya seorang diri. Tapi sekali lagi, semua hal yang kita lakukan tanpa melibatkan Tuhan pasti hasilnya akan nihil, karena kita mengabaikan kuasa Tuhan. Tidak percaya akan pertolongan Allah akan membuat diri kita menjadi stres dan rohani menjadi tidak bahagia. Aku menyayangkan hal itu. Seandainya ayah adalah sosok yang ‘tau agama’, tentu beliau akan tetap tegar menjalani semua dengan tetap berpikir positif. Selain itu, hati juga akan terasa lebih damai dengan percaya akan adanya pertolongan Allah. Efek lain, tentu ayah tidak akan menutup diri menjadi seperti sekarang ini, karena agama Islam telah mengajarkan bahwa kunci sukses salah satunya adalah dengan memperkuat tali silaturahmi.
Ayah bukan orang jahat. Beliau justru terlampau sabar mengurus anak-anaknya dibandingkan dengan ayah lain. Setidaknya, itu menurutku. Ayah sudah terbiasa bermain dengan perabot dapur untuk membuat kami kenyang ketika ibu sedang memiliki kesibukan lain. Bagi ayah, menjaga kebersihan rumah juga bukan tanggung jawab ibu rumah tangga semata. Nyatanya, dengan ringan hati ayah bisa menyapu halaman rumah hingga bersih dalam sekejap, tanpa babibu. Ayah tidak takut dan tidak pernah ragu untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah seperti membersihkan toilet, menguras bak, membersihkan debu, dan sebagainya.Hal-hal inilah yang membuat rasa sayangku terhadap ayah semakin besar. Aku tahu, bahwa ayah bisa menjadi pribadi yang lebih kuat jika mau mengenal lebih dalam tentang Islam. Maka, kutetapkan di dalam hati ini, bahwa bagaimanapun keadaan ayah sekarang, aku akan terus menghormatinya dan sebisa mungkin mendoakannya semoga semua problema di kehidupan kami tidak semakin menjauhkan ayah dari-Mu Ya Rabb… Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar