Intan Laksitadewi
Rabu, 05 Desember 2018
Senin, 04 September 2017
Cerpen Fiksi
AYAH
By: Intan Laksitadewi
Tiba disuatu titik aku harus
meluapkan semua. Entah itu gembira, bahagia, tangis, dan amarah. Aku bukan tipe
pencurhat andal yg mencari sosok orang kuat yang mau mendengar kisahku.
Seringkali lebih nyaman dengan membasuh tubuh dengan aliran air segar, menggelar
sajadah dilonggaran waktu yg terkadang sunyi. Menceritakan semua kisah yang
sesungguhnya tidak perlu karena kutahu Dia telah mengetahuinya. Sampai saat
ini, disela sujud-sujud panjangku aku meluapkan segala harapan-harapan
terbaikku. Semua orang ingin memiliki hidup yang bahagia dan penuh manfaat. Akupun
sama, hanya saja tercatat seuntai kalimat yang membedakan aku dengan doa-doa
orang lain. Seuntai kalimat yang khusyu’, khusus kupersembahkan untuk sosok
lelaki. Lelaki malang yang menemani tawa tangisku setiap waktu. Doaku, untaian
kalimat penuh harapan teristimewa untuk ayah. Bukan malang karena hidup yang
sengsara. Bukan pula kemalangan karena kemiskinan. Terlebih dari itu, ayah
telah terjebak dalam pikiran semu. Ayah terbelenggu oleh asumsi negatif tentang
dirinya sendiri. Hingga ketitik terdalam dari kepesimisannya, ayah ku menjadi
orang yang paling malang. Sekali lagi kukatakan, bukan karena kesengsaraan
hidup atau kemiskinan. Lebih sakral, lebih mendalam, lebih dari segalanya.
Pesimisnya telah mengakar menyeretnya untuk lepas dari keimanan seorang muslim.
Hal yang paling dasar, dan sekaligus paling penting dari apapun. Bukan ayahku
menjadi kafir. Entah akupun tak tahu bagaimana seseorang bisa dikatakan kafir.
Yang kutahu ayah tetap memeluk agama haq yaitu islam. Ktp, riwayat hidup, KK,
semua itu telah menjelaskan yg paling nyata bahwa ayahku seorang muslim. Tak
bisa ditentang lagi, semua sudah tercatat. Resmi dan legal.
Semua kisah, berawal dari sini.
Keimanan yang mungkin sedang berkecambah, mulai dilanda krisis kurang air
sehingga matilah kecambah itu. Tak menghasilkan apapun. Tak satupun dapat
membawa manfaat bagi sekitarnya. Terkecuali bagi hewan mikro yang mulai
menyantap kecambah busuk, tanpa pernah kecambah itu punya kesempatan untuk
memulai hidup sebagai tumbuhan yang nyata. Energi penyokongnya telah hilang,
bagaimanapun proses untuk tetap tumbuh tak dimungkinkan lagi. Inilah yang
terjadi pada ayah. Keimanan bagai energi penyokongnya yang secara perlahan
menguap. Bahkan menghilang samasekali. Selang sewaktu, energi penyokong itu
datang menyejukan jiwa namun secepat itupula menghilang dengan berbagai
pertanyaan konyol yang sudah tentu tidak perlu dipertanyakan. Bisa dibayangkan,
seorang muslim yang masih mempertanyakan kebenaran al-qur’an tentu hidupnya tak
kan mampu khusyu’. Terbawa angin tanpa ada penguat jiwa. Ibadahnya pun masih
ragu. Bagaimana bisa diterima ibadahnya, jika hati kecilnya mengingkari, ada
semburat jiwa yg ragu, takut jika agama yang haq dari Allah SWT ini adalah
agama yang salah. Astaghfirullah haladzim. Roda terus berputar, begitupun hidup
terus berputar, kadang dibawah kadang diatas. Tak mengertikah ayah bahwa hidup
tak selalu mulus? Hingga muncul lagi pertanyaan konyol. Dimanakah kuasa Tuhan?
Padahal jelas dalam kumpulan suhuf-Nya, Allah telah berjanji tidak akan memberi
cobaan melebihi kemampuan manusia itu. Tinggal yakin tidaknya hanya manusia itu
dan Allah-lah yang mengetahui. Kunci dari semuanya adalah yakin dan percaya.
Menengok ke belakang, terawal mula
ayah tumbuh, dididik, dan mendapat berbagai ilmu kehidupan. Ayah memang sejak
lahir tergolong malang. Keluarga memang islam, tapi bukan islam. Jangan dipikir
keluarga ini kacau, semrawut atau yang sejenisnya. Bukan seperti itu. Justru
keluarga asal dari ayah memiliki kehidupan menyenangkan. Dilingkupi dengan
materi yang cukup, kasih sayang pun mengalir dari kedua orang tua ayah yang
serba perfectionist. Kakek nenekku kuakui orang orang yang hebat, tapi
ketahuilah sesempurna apapun manusia, sisi kelamnya pasti nyata. Tak ada gading
yang tak retak. Begitulah, orangtua ayah menumbuhkan anak-anak mereka dengan
semangat belajar, kejujuran, dan saling pengertian. Banyak yang telah terdaftar
dalam lembaran angan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang sukses. Gemilang
meraih mimpi yang cemerlang. Merawat kelima anak termasuk pula ayah dengan
berbagai sarana prasarana yang lebih dari cukup. Aku bisa membayangkan, kakek
nenek benar-benar couple yang kompak dan sejalan. Mereka mampu keluar dari
belenggu ketradisionalan orang zaman perang. Menciptakan gaya hidup yang
condong glamor, dan penuh dengan kebebasan berkreasi. Kelima anak dibekali
berbagai ilmu dan keterampilan khusus sesuai minat masing-masing. Kesenangan
membaca, menyulam, bermusik, melukis, berburu, bahkan hobi yang unik seperti
bercocok tanam semua diberi kebebasan serta fasilitas untuk mengembangkannya.
Aku bangga, ayah memiliki bakat bermusik dan melukis. Seringkali dulu kudengar
alunan organ di sore hari. Kala semua masih terasa lapang. Ketika waktu
menjelang isya’ dengan girangnya aku pulang dari les, menghambur masuk kerumah
penuh kehangatan, diiringi riangnya alunan musik dari petikan jemari ayah pada
dawai gitar alegro. Ibu, yang pandai mengolah makanan apapun, membawa jajanan
ala kadarnya. Apapun yang ada dikulkas, jika berada di tangan ibu bisa tercipta
berbagai kreasi. Mulai dari yang sederhana seperti pisang goreng, kue
samarinda, keripik tahu, dan yang paling menyenangkan hati si bulat hijau isi
gula merah, klepon. Semua terasa indah.
Hidupku, hidup ayah, memang selalu
indah sampai inilah waktu tibanya berbagai problema. Tunggu, belum waktunya
membahas cerita masa kini. Kembali ke kilasan masa lampau, orangtua ayah memang
benar-benar ingin meluluskan kelima anaknya menjadi orang yang sukses. Cita-cita
tinggi tak pernah lepas dari ilmu yang diperoleh dari bangku sekolah. Sesuai
angan yang sudah tertata, ayah didaftarkan Sekolah Dasar Kristen. Dulu, sekolah
swasta lebih baik kualitasnya dibanding sekolah negeri. Saat itu ayah masuk SD
kristen karena kebetulan letaknya yang paling dekat dengan tempat tinggal.
Sebenarnya, SD bukanlah waktu yang tepat untuk memulai menata masa depan.
Mungkin hanya kecil pengaruhnya untuk profesi kita kelak. Tapi nyatanya, bangku
SD justru sangat penting untuk mulai membangun karakter. Tanpa sadar, kemurnian
jiwa islami ayah yang seharusnya mulai dipupuk justru ditempatkan pada tempat
yang salah.
Dari cerita-cerita lawas yang
kudengar, ayah dulu senang dengan acara-acara sekolah minggu, bernyanyi,
berkumpul bersama teman yang memang begitulah lingkungan ayahku semasa kecil.
Aku tidak bermaksud mengucilkan agama lain, tapi yang kupikir selama ini, dasar
pengetahuan agama yang kurang pasti akan membangun karakter yang lemah. Dan
inilah yang sangat kusayangkan karena terjadi pada ayahku sendiri. Banyak ilmu
keislaman yang seharusnya mulai diterapkan, justru mulai tenggelam dan
terabaikan. Terlebih orangtua ayah yang tidak begitu saklek dengan ajaran
agama. Mereka lebih condong untuk fokus menata masa depan karir yang bersifat
duniawi. Namun aku tidak sepenuhnya menyalahkan kakek nenek, karena setahuku,
dari kisah-kisah masa kecil ayah yang kudengar dari penuturan ayah sendiri,
kakek nenek bertanggungjawab atas pembangunan karakter islami dengan menyewa
guru ngaji. Setiap sore, kelima anak yang umurnya hampir sebaya mengaji. Tapi
itu tak berlangsung lama karena tak ada dorongan atau motivasi kuat untuk terus
menyewa guru ngaji itu. 6 tahun berlalu, usia ayah sudah 12 tahun. Yang
kuperkirakan ayah pasti tak pernah tau kisah-kisah tentang nabi dalam islam
yang sering kudengar dari guru agama islamku disekolah dasar negeri. Kisah
teladan para pengikut nabi, dan peristiwa-peristiwa bersejarah dalam islam yang
sangat baik untuk membangun akhlak islami. Yang kuyakini lagi mungkin ayah
tidak dapat membaca huruf hijaiyah. Sungguh malang, karena ayah tidak punya
kesempatan untuk mempelajarinya.
Mungkin hati kalian akan bertanya,
bagaimana aku bisa tahu begitu banyak tentang kisah ayahku di masa kecil?
Sementara aku sendiri tentu belum ada di dunia ini. Aku mendengarnya lewat obrolan-obrolan
bersama ayah, yang secara tidak langsung menggambarkan kehidupan ayah waktu
kecil. Mungkin ayah bermaksud untuk mengajarkanku nilai-nilai kehidupan yang
baik seperti kejujuran, semangat belajar, pantang menyerah, toleransi, dan
sebaginya. Hal-hal inilah yang membawaku terbang bersama imajinasiku sendiri
untuk menyelami kehidupan ayah di masa kecil.
Sekarang ini, aku hanya bisa
menyimpulkan bahwa semua yang terjadi di masa kecil kita akan mempengaruhi
kehidupan kita di masa mendatang. Contoh kehidupan ayah yang memang kurang landasan
agama membuat ayah memiliki sifat yang sangat kusayangkan. Tapi bukankah tidak
ada orang yang sempurna? Setidaknya aku hanya ingin menjadikan ayah sebagai
panutanku dalam menjaga keimanan. Namun, selalu justru aku yang sepertinya
harus bertugas untuk itu. Aku harus mencari cara supaya ayah mau menjadi imam
yang nyata dalam setiap sholat kami. Aku harus meyakinkan ayah bahwa meskipun
beliau ‘tidak pandai agama’, beliau tetap mempunyai kewajiban untuk mendidik
kami-anaknya, dan tentu mendidik ibuku. Namun, kewajiban-kewajiban seperti
diatas yang fitrahnya ditujukan untuk laki-laki sepertinya dianggap angin lalu
saja oleh ayah.
Selain kurangnya peran ayah dalam
mendidik kami dalam masalah agama, sifat lain yang kusayangkan adalah bahwa
dimataku ayah adalah sosok yang kurang percaya diri. Entah apa yang terjadi
pada beliau, ayah menjadi sosok yang takut memperjuangkan haknya. Ayah selalu
mengalah dan mengalah jika dihadapkan pada keadaan yang menyalahkannya
sementara beliau sebenarnya berada di pihak yang benar. Alhasil, ayah bukan
menjadi pribadi yang semakin dekat dengan-Nya, justru seperti menjadi frustasi
terhadap apa yang menimpa keluarga kami. Tidak perlu dijelaskan, intinya
kondisi perekonomian keluarga kami sedang jatuh-jatuhnya. Ayah menjadi pesimis,
dan mengabaikan pentingnya silaturahmi dengan keluarga dekat maupun keluarga
jauh, apalagi dengan teman-temannya. Beliau seperti menganggap bahwa dunia ini
kejam dan tidak ada lagi hal penting selain berusaha keras membangun lagi
bisnisnya seorang diri. Tapi sekali lagi, semua hal yang kita lakukan tanpa
melibatkan Tuhan pasti hasilnya akan nihil, karena kita mengabaikan kuasa
Tuhan. Tidak percaya akan pertolongan Allah akan membuat diri kita menjadi
stres dan rohani menjadi tidak bahagia. Aku menyayangkan hal itu. Seandainya
ayah adalah sosok yang ‘tau agama’, tentu beliau akan tetap tegar menjalani
semua dengan tetap berpikir positif. Selain itu, hati juga akan terasa lebih
damai dengan percaya akan adanya pertolongan Allah. Efek lain, tentu ayah tidak
akan menutup diri menjadi seperti sekarang ini, karena agama Islam telah
mengajarkan bahwa kunci sukses salah satunya adalah dengan memperkuat tali
silaturahmi.
Ayah bukan orang jahat. Beliau justru
terlampau sabar mengurus anak-anaknya dibandingkan dengan ayah lain. Setidaknya,
itu menurutku. Ayah sudah terbiasa bermain dengan perabot dapur untuk membuat
kami kenyang ketika ibu sedang memiliki kesibukan lain. Bagi ayah, menjaga
kebersihan rumah juga bukan tanggung jawab ibu rumah tangga semata. Nyatanya,
dengan ringan hati ayah bisa menyapu halaman rumah hingga bersih dalam sekejap,
tanpa babibu. Ayah tidak takut dan tidak pernah ragu untuk membantu menyelesaikan
pekerjaan rumah seperti membersihkan toilet, menguras bak, membersihkan debu,
dan sebagainya.Hal-hal inilah yang membuat rasa sayangku terhadap ayah semakin
besar. Aku tahu, bahwa ayah bisa menjadi pribadi yang lebih kuat jika mau
mengenal lebih dalam tentang Islam. Maka, kutetapkan di dalam hati ini, bahwa
bagaimanapun keadaan ayah sekarang, aku akan terus menghormatinya dan sebisa
mungkin mendoakannya semoga semua problema di kehidupan kami tidak semakin
menjauhkan ayah dari-Mu Ya Rabb… Aamiin.
Cerpen
Makna
Sebuah Kata-Kata
Oleh :
Intan Laksitadewi X7 / 17
“Mah..!
kenapa kaos kakiku ada di ember cucian sih? Kan hari ini mau aku pakai.” Caciku
pada mama. “Lina, kamu tahu kan, pekerjaan mama tidak hanya mengurus kamu. Kamu
mestinya bisa siapkan keperluanmu sendiri.” Lagi-lagi mama menasehatiku hal
yang sama.
Ya, begitulah keseharianku. Selalu ada saja omelan yang
keluar dari mulutku. Aku memang sudah kelas 2 SMP tapi entah apa yang salah
padaku, aku belum bisa mandiri dan mengontrol emosiku seperti temanku yang
lain. Hal yang buruk tentunya, karena jika sudah panik akibat kemalasanku, aku
selalu menyalahkan orang lain.
Dan hari ini peristiwa yang rutin terjadi
sudah kembali lagi di depan mata. Kaos kaki yang akan kupakai hari ini malah
masih nangkring dengan enaknya di ember cucian. Ini akibat ulahku pada suatu
minggu sore yang cerah. Seharusnya itu waktu terbaik untuk mencuci semua
seragam sekolah dan baju-baju rumahku. Tapi aku tergoda oleh keasyikan duniawi.
Aku bermain layangan bersama anak-anak ingusan berumur 5 tahun. Indahnya bentuk
dan warna layangan serta semilir angin menyepoi wajah membuatku lupa waktu.
Kaos-kaos kaki yang ujung jempol dan tungkainya berwarna hijau kecoklatan dan
seharusnya berwarna putih itu terlupakan juga olehku. Alhasil aku berangkat
sekolah dengan kaos kaki yang menawan warnanya.
Sepulang
sekolah, aku berniat membeli bakso yang biasa mangkal di depan sekolah. Saat
itu aku bersama seorang teman, dia juga beli bakso sama sepertiku. Sedang
asyik-asyiknya mengobrol atau lebih tepatnya bergosip sambil menunggu pesanan,
tiba-tiba ada cairan lengket berwarna hitam mengenai bagian lengan kiriku.
Sepersekian detik baru kusadari tutup botol tadi itu meloncat keluar bersama
kecap-kecap yang bermuncratan. Aku kaget melihat kuah bakso pesananku yang baru
dilayani itu warnanya
hitam pekat. Bukannya merasa kasihan atau membantu membersihkan sisa kecap di
gerobak, rasa kesal dan jengkel malah perlahan muncul dari benakku. “ Lho pak,
itu gimana bakso saya kok jadi hitam pekat seperti itu. Pasti rasanya pahit !”
protesku pada bapak penjual bakso. Dengan sigap tukang bakso itu menggantinya
dengan satu porsi bakso lain. Akupun lega dan bergegas untuk pulang karena
sepertinya hujan akan segera turun. Udara dingin terasa menyerbu mendatangkan rasa
kantuk di pelupuk mata. Dari dalam bus kota kulihat titik hujan mulai membasahi
kaca jendela.
Sisa
hari ini akan kuhabiskan dengan membaca komik-komik baru yang belum sempat
kusentuh. Baru beberapa menit menikmati gambar-gambar manga yang lucu, aku
merasa haus. Aku bangun dari tempatku berbaring melangkah menuju dapur. Dengan
cepat aku menyambar gelas keramik bergambar winnie the pooh dan membuat teh
hangat yang manis. Dari dapur sayup-sayup kudengar suara orang bercengkrama,
sepertinya melalui telepon genggam. Saat berjalan hendak kembali ke kamar, ku
lihat adikku yang masih berumur 11 bulan duduk manis sambil asyik mengutak atik
sesuatu. Aku mendekat ke arahnya dan kulihat air menggenangi lantai. Kupikir
itu semacam ompol hasil ekskresi adik. Tapi sepertinya prediksiku meleset
karena kulihat kura-kura jepangku tergeletak di sebelah paha adik. Oh ternyata
adikku telah berhasil membebaskan kura-kura dari penjara akuarium mini.
Memang
dasar suasana hatiku sedang buruk, aku kehilangan kontrol. Aku mengambil
akuarium mini dari tangan mungil adik dan mengembalikan kura-kura malang itu ke
kandangnya. “Kak Ira, niat jagain adik atau mau ngapain sih? Ini adiknya disini
kakak kemana aja? Malah sibuk sendiri nggak jelas. Tuh liat lantai basah semua,
pokoknya aku nggak mau tahu!” aku mengomel sambil berlalu meninggalkannya. Aku
menangkap siluet kakak yang melongo didepan pintu dan kemudian cemberut melalui
ekor mataku. “Kamu sendiri gimana hah? Kamu juga asyik dengan urusanmu sendiri.
Kata-katamu itu nggak sesuai sama keadaanmu. Jangan nasehatin orang lain kalau
kamu sendiri belum bisa melakukan hal yang sama, ntar kamu bakal nyesal kalau
selalu bicara tanpa dipikir !” teriak kak Ira.
Sampai
di kamar aku mengurungkan niat untuk melanjutkan membaca komik. Aku sedikit
gelisah dihantui kata-kata kak Ira tadi. Memang rasanya benar juga setiap kali
aku marah pasti akhirnya diikuti rasa sesal. Kadang aku capek juga harus
marah-marah setiap hari. Acap kali aku berimajinasi, mungkin saja ada selapis
es abadi yang bisa menyelimuti hatiku. Hingga membuat hatiku selalu dalam
balutan kesejukan tanpa ada rasa marah yang membara seperti api.
Hari
sepertinya cepat sekali berlalu. Aku tenggelam bersama padatnya kesibukan
belajar di sekolah menjelang ujian akhir. Huru-hara, guyonan, dan lelucon di
dalam kelas seolah terasa pudar seiring berjalannya waktu. Waktu yang membawaku
menuju ke pertambahan usia, yang otomatis menempatkanku dalam pusaran euforia
remaja. Kebiasaan marahku masih berlanjut disana. Pada suatu hari, temanku yang
bernama Osha dengan mata berbinar bercerita bahwa ia sedang jatuh hati pada
seseorang. Betapa terkejutnya aku karena Osha menyukai lelaki yang sama
denganku. Aku sendiri tak pernah menceritakan hal ini. Tapi saat Osha curhat
tentang perasaannya, aku jadi marah besar dan akupun mencari-cari alasan untuk
bisa menjauh darinya. Aku sangat membencinya kala itu.
“ Sha, kamu bisa kan jangan dekatin aku?” aku
mulai bicara dengan emosiku yang meluap-luap sampai air mataku hampir menetes.
“ Aku bosen tau gak sama kamu. Setiap kali aku jalan, ke toilet, ke kantin
selalu ada kamu. Masih banyak kok orang lain yang bisa kamu ajak
curhat-curhatan tentang gebetanmu itu. Aku capek dengerinnya.” Ucapanku kali
ini sungguh yang paling kejam dan tidak mempedulikan perasaannya. Saat itu
pastilah jika aku menjadi tokoh dalam sebuah cerita, akulah yang menjadi tokoh
paling jahat dan dibenci oleh pembacanya. Aku mengatur langkahku supaya
cepat-cepat kembali ke kelas. Saat aku lihat dia duduk di bangku belakangku,
aku hanya mendiamkannya dan tidak menganggapnya ada. Padahal akupun sadar bahwa
dia sama sekali tidak salah, karena dia tidak akan pernah tahu apa yang
kupikirkan jika aku tidak mengatakannya. Tapi aku tidak mau tahu, aku
mengutamakan egoku dan hubungan persahabatan kamipun mulai renggang.
Ujian
sekolah berlangsung selama seminggu. Aku lega atas hasil yang kuperoleh meski
nilaiku belum menjadi yang paling baik di sekolah. Tapi ada satu hal yang
mengganjal perasaanku. Jujur, semenjak Osha “menghilang” dari kehidupanku aku
merasa hampa kesepian. Perlahan sesalku mulai muncul. Bertambah pula sesalku
ketika membayangkan dulu saat aku mengabaikannya. Bahkan Osha pun tak tahu
dimana letak kesalahannya, jika aku ditanyapun aku pasti akan bingung
menjawabnya. Karena aku menjauhinya hanya karena tak ingin punya saingan dalam
hal yang konyol dan sama sekali tidak penting itu.
Kini
setelah ku pikirkan selama beberapa hari belakangan aku mengambil sebuah
keputusan. Aku akan meminta maaf padanya. Akan kubuang segala ego hatiku dan
rasa gengsiku. Bahkan akupun berjanji jika nanti dia tidak menerima ketulusan
maafku aku akan terus mencoba. Harus kudapatkan maaf darinya karena kini aku
tahu betul, akulah yang salah dalam hal ini. Dan aku akan berdosa jika tidak
mampu memperbaiki kesalahanku.
Bis
kota melaju dengan kencangnya dan menurutku ini sedikit ugal-ugalan, tidak
wajar memang. Tapi aku senang karena bis itu aku jadi tidak terlambat. Awalnya
aku mengira akan telat masuk karena aku bangun dan beranjak dari tempat
tidur sekitar pukul 06.10 . Kebiasaan
burukku rupanya mulai kambuh lagi.
Dengan
berlari-lari kecil aku menuju kelasku, kelas 3A. Aku memandang sekeliling.
Kelas baru, teman baru, guru baru, dan semangat baru mewarnai awal pagi ini.
Tak kusangka aku kembali berada dalam satu kelas bersama Osha. Dia duduk di
bangku depan kelas sedang bercengkrama dengan seorang teman, temanku juga
rupanya. Aku ingin segera menyelesaikan misiku. Dan dengan senyum yang khas dan
kurindukan selama ini, Osha menerima maafku.
“Iya nggak masalah kok Lin. Aku udah lama
maafin kamu, tapi aku maunya kamu minta maaf dulu biar kamu tahu bahwa
kata-kata yang sering keluar saat kamu marah itu menyakitkan hati orang. Aku
harap kamu nggak ngulangin itu lagi.” Katanya sambil meneguk sebotol jus jeruk yang
ada di tangannya. “Oh iya, kamu mestinya tahu satu hal. Saat kamu mulai
menghindariku, aku mencari tahu apa sebabnya. Dan terbukalah semuanya. Aku tahu
kamu juga suka sama kak Rio, makanya mulai saat itu aku membuang rasaku pada
kak Rio biar bisa menjaga persahabatan kita. Tapi apa boleh buat kamu keras
kepala nggak mau lagi temenan sama aku. Ya sudah, aku bisa apa?” katanya sambil
cemberut yang di buat-buat.
Aku
tidak bisa berkata-kata lagi. Malah perlahan titikan air mata mulai membasahi
pipiku. Aku merasa jadi anak umur 2 tahun yang cengeng. Sebenarnya aku malu,
tapi luapan bahagiaku tidak bisa terbendung.
Kini
aku tahu, makna sebuah kata itu sangat dalam. Aku pernah mendengar sebuah
cerita. Jika kita marah anggaplah kita menancapkan paku pada sebuah balok kayu.
Kata maaf ibarat bisa menghilangkan paku-paku itu dari kayu. Tapi bekas dari
tancapan paku itu tak akan bisa hilang dan itu ibarat seseorang yang telah kita
sakiti hatinya dari kata yang terlontar saat kita marah. Meski maaf telah
tercapai tapi perkataan kita yang menyakitkan akan tetap berbekas di hati sampai
kapanpun. Maka maknailah setiap kata dengan berucap hal yang positif dan
menyenangkan. :)
Etika dan Moral LGBT Dalam Kehidupan Mahasiswa
MAKALAH PROFESI
KETEKNIKAN
ETIKA DAN MORAL
LGBT DALAM KEHIDUPAN MAHASISWA
DISUSUN OLEH:
NAMA : INTAN LAKSITADEWI
NIM : 15/385453/TP/11322
DOSEN : SAIFUL ROCHDYANTO
DEPARTEMEN
TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI
PERTANIAN
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, LGBT menjadi
persoalan yang ramai diperbincangkan. Kehadiran para pelaku Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender memang sudah ada sejak dahulu kala, namun muncul di
permukaan sebagai hal yang seakan tidak penting untuk ditelisik lebih lanjut.
Kehadiran LGBT seolah kasat mata sehingga kemunculannya terabaikan oleh
berbagai kalangan. Kesan terabaikan ini mungkin lebih baik daripada respon lain
yang riskan terjadi terhadap kehadiran LGBT yaitu deskriminasi, dan pengucilan.
Banyak pendukung LGBT menyerukan bahwa pelaku LGBT berhak hidup dengan
perlakuan sama sebagai manusia dan juga WNI. Namun kenyataannya, berbagai
kebijakan dan program pemerintah pun tidak dapat menyentuh mereka karena
ketidakjelasan status jenis kelamin. HAM menjadi hal utama yang dituntut oleh
pelaku dan pendukung LGBT. Namun di lain pihak, masyarakat juga memiliki hak
untuk hidup dalam lingkungan sosial yang nyaman tanpa rasa cemas.
Keberadaan
LGBT memunculkan kekhawatiran akan pengaruhnya terhadap perilaku generasi
penerus. Hal ini merusak nilai moral sebagai manusia yang berketuhanan YME
sesuai sila pertama Pancasila, dimana ajaran agama menolak mutlak keberadaan
LGBT. Perlu dipertanyakan pula etika pelaku LGBT yang pada umumnya kurang
pantas dimunculkan di kehidupan sosial seperti penggunaan pakaian yang kurang
sopan, memakai riasan yang berlebihan, dialog menggunakan tata bahasa khas
mereka yang kurang sopan, juga perilaku seksual LGBT yang tidak pantas, dan
lain sebagainya. Etika dan moral inilah yang secara pasti bertentangan dengan
etika dan moral yang tumbuh di lingkungan sosial yang normal.
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai etika moral LGBT dan pengaruhnya dalam
kehidupan mahasiswa. Tujuan bahasan kali ini adalah untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh moral dan etika yang dibawa kaum LGBT terhadap kehidupan sosial
khususnya terhadap mahasiswa. Selain itu juga untuk menemukan bagaimana cara
menyikapi keberadaan LGBT sehingga tidak menimbulkan konflik yang merugikan satu
pihak.
B.
Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk :
1. Membahas pengertian dan sejarah LGBT
2. Membahas pandangan masyarakat terhadap LGBT
3. Membahas etika moral LGBT dan pengaruhnya terhadap
kehidupan.
C. Manfaat
Penulisan
makalah ini bermanfaat untuk :
1. Mengetahui pengertian dan sejarah LGBT
2. Mengetahui pandangan masyarakat terhadap LGBT
3. Mengetahui etika moral LGBT dan pengaruhnya terhadap
kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian dan
Sejarah LGBT
LGBT adalah sebuah singkatan yang
memiliki arti Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. Lesbian berarti
perempuan yang mencintai atau menyukai perempuan baik dari segi fisik ataupun
dari segi seksual dan spiritual. Gay berarti laki-laki yang menyukai dan
mencintai laki-laki dan kata gay ini merujuk pada homoseksual. Biseksual
adalah orang yang bisa memiliki hubungan
emosional dan juga seksual dari dua jenis kelamin sehingga bisa menjalani
hubungan dengan laki laki maupun perempuan. Transgender adalah ketidaksamaan
dari identitas gender yang diberikan kepada orang tersebut dengan jenis
kelaminnya. Seorang transgender bisa termasuk dalam orang yang homoseksual,
biseksual, dan heteroseksual.
LGBT di Indonesia setidaknya
sudah ada sejak era 1960-an. Ada yang menyebut dekade 1920-an. Namun, pendapat
paling banyak menyebut fenomena LGBT ini sudah mulai ada sekitar dekade 60-an.
Lalu berkembang pada dekade 80-an, 90-an, dan meledak pada era milenium 2.000
hingga sekarang. Jadi, secara kronologis, perkembangan LGBT ini sesungguhnya
telah dimulai sejak era 1960-an. Kalau dulu terkenal Sentul dan Kantil, kini
sebutannya adalah Buci dan Femme. Cikal bakal organisasi dan avokasi LGBT di
Indonesia sudah berdiri lama. Salah satunya organisasi jadul bernama: Hiwad,
Himpunan Wadam Djakarta. Wadam, wanita Adam, mengganti istilah banci dan
bencong. Namun, organisasi Wimad diprotes MUI. Kemudian pada 1982, pelaku homo
mendirikan Lambda Indonesia. Pada 1986 berdiri Perlesin, Persatuan Lesbian
Indonesia. Pada tahun yang sama, berdiri juga pokja GAYa Nusantara, kelompok
kerja Lesbian dan Gay Nusantara. Sementara era 1990-an semakin banyak
organisasi yang berdiri. Tahukah Anda? Pendirian organisasi mereka berkedok
emansipasi, merujuk emansipasi wanita. Mereka juga mendirikan media sebagai
publikasi. Ada beberapa media yang didirikan sebagai wadah komunikasi
antar-LGBT.
2. Pandangan Masyarakat Terhadap LGBT
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia
merupakan penyimpangan yang sudah ada sejak dahulu kala, namun keberadaannya
sampai sekarang masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Dalam menyikapi LGBT,
masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga kubu. Ada yang menentang keras LGBT,
ada yang tidak peduli dengan LGBT, dan ada yang mendukung LGBT.
Mereka yang menentang keras LGBT mayoritas berasaskan
agamanya masing-masing. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan banyak
muslim Indonesia yang akan mengeluarkan ‘kartu’ Nabi Luth dan Kaum Sodom ketika
disodorkan topik LGBT. Mayoritas muslim melihat cerita kaum sodom ini sebagai
penjelasan akan kaum LGBT yang dibenci oleh Nabi. Dari sini pula muncul
pemikiran bahwa tidak apa-apa membenci, mendiskriminasi dan menghukum kaum
LGBT, atas nama jihad. Para penentang LGBT juga baru-baru ini memakai kalimat
bahwa yang mereka tolak adalah propaganda LGBT, bukan individunya.
Menurut Komisioner KPAI, Erlinda, dan Wakil Ketua Komite III
DPD, Fahira Idris, ‘propaganda LGBT’
adalah hal-hal di media sosial, aplikasi messenger, film, buku, ataupun
ranah media lain, yang mempromosikan dan mengkampanyekan LGBT terhadap
anak-anak dibawah umur. Ditakutkan promosi LGBT seperti sticker LINE yang
mengandung unsur LGBT dan pornografi LGBT dapat mengarahkan anak-anak ke
pemikiran bahwa LGBT adalah tindakan normal dimana pandangan ini tidak searah
dengan ajaran agama mereka. ‘Propaganda
LGBT’ diperkirakan mempunyai tujuan untuk menggaet masyarakat Indonesia
satu persatu hingga akhirnya pendukungnya cukup banyak dan pernikahan sesama
jenis bisa dilegalkan di Indonesia. Anak-anak yang mentalnya masih rentan juga
ditakutkan akan gampang ‘diubah’ menjadi LGBT karena propaganda ini.
Selanjutnya, ada kubu masyarakat yang tidak peduli akan
keberadaan LGBT. Sikap mereka terhadap LGBT biasanya seperti “Itu urusan
mereka, dosa mereka, kehidupan mereka. Mereka mau seperti itu terserah mereka.
Sudah, kita tidak usah ikut-ikutan”. Tetapi yang membedakan kelompok ini
adalah, mereka juga tidak peduli atau menerima kenyataan bahwa kelompok LGBT
mendapat tindakan diskriminasi ataupun menghadapi kekerasan. Dapat dibilang
kelompok ini adalah kelompok yang memilih untuk buta tentang isu LGBT, mereka
mengetahui keberadaan LGBT, tetapi mereka tidak mau ikut campur tangan dalam
bentuk apapun.
Kelompok terakhir adalah yang mendukung LGBT, biasanya
mereka berasaskan HAM. Mereka memperjuangkan hak-hak untuk para Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender yang sering mendapatkan perlakuan diskriminasi dan
kekerasan di lingkungan sekolah, kantor, bahkan keluarga sendiri. Kelompok ini
tidak hanya terdiri dari mereka yang memang termasuk LGBT, ada heteroseksual
yang mendukung LGBT, bahkan mereka yang religius juga ada.
Tidak sedikit dari pelaku LGBT diusir dari rumah sendiri,
dibully, dan dilecehkan. Hal itu membuat banyak LGBT yang simpang siur
kehidupannya, terutama para Transgender. Untuk LGB mungkin masih bisa
menyembunyikan seksualitasnya, tapi sulit untuk Transgender menyembunyikan jati
dirinya sendiri. Sehingga banyak Transgender yang terpaksa menjadi pengamen
atau pekerja seks karena tidak diterima oleh masyarakat umum.
Dalam penelitian sebuah lembaga pro-LGBT, Arus Pelangi,
89,3% kaum LGBT di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar pernah mendapatkan tindak
kekerasan dan diskriminasi dalam aspek fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan
budaya. Para aktivis pro-LGBT di Indonesia berharap pemerintah akan membuat
undang-undang yang melindungi hak-hak LGBT dan melindungi LGBT dari tindakan
diskriminan dan kekerasan.
3. Etika Moral LGBT dan Pengaruhnya
Di
Indonesia, LGBT menyimpang dari Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa. Menikah atau cinta sesama jenis merupakan larangan dan bukan pilihan.
Agama mana pun melarangnya termasuk dasar negara di Indonesia. Adanya usulan
untuk melegalkan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual (LGBT) dari sebuah
kelompok masyarakat ditanggapi serius oleh Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin. Menag menyatakan bahwa LGBT tidak dapat diterima karena bertentangan
dengan Pancasila terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa sebuah
pernikahan harus berlandaskan nilai dan norma agama.
Sesuai Pancasila utamanya sila
pertama, negara hanya mengakui pernikahan yang dilakukan menurut hukum agama
sebagai dasar pembentukan keluarga. Untuk itu, Pemerintah berupaya memperkuat
eksistensi lembaga perkawinan dan pelestarian nilai-nilai perkawinan sebagai
hal yang suci dan terhormat. Karenanya isu kebebasan yang diusung oleh kalangan
yang menamakan dirinya LGBT tidak dapat diterima dalam masyarakat Indonesia
yang beragama.
Perilaku homoseksual itu
menjadi ancaman bagi negeri ini. Ia menyebar bak wabah penyakit. Menyebar
secara halus melalui media sosial, bahkan buku pelajaran. Mahasiswa pun menjadi
sasaran empuk untuk dipengaruhi terhadap perilaku LGBT. Menurut dr. Rita
Fitriyaningsih yang sudah sembilan tahun menjadi mitra LSL atau GWL (Gay,
Waria, Laki-laki seks dengan laki-laki), perilaku homoseksual dapat menular
kepada orang lain. Dengan kata lain, orang yang tadinya tidak homoseksual dapat
menjadi homo jika terus berinteraksi atau berada di dalam komunitas
homoseksual. Semakin meningkatnya pelaku homoseksual berkorelasi pada
meningkatnya kasus sodomi. Pelaku LGBT pun rawan tertular HIV/AIDS.
Fakta menunjukkan, negara ini lumpuh dalam upaya
perlindungan masyarakat dari budaya yang merusak. Terbukti dari menjamurnya
jaringan pendukung LGBT. Makin meluasnya komunitas LGBT ini, karena tidak ada
hukum yang tegas yang melarang tindakan rusak ini. Bahkan pada tahun 2012, Dede
Oetomo, pendiri GAYa Nusantara sempat lolos uji calon Komisioner HAM meskipun
tidak terpilih. Inilah bukti lumpuhnya peran negara dalam membendung budaya
merusak yang membonceng ide kebebasan dan HAM. Maka, jika kerusakan akibat LGBT
dibiarkan, akan terjadi lost generation karena menyalahi fitrah penciptaan
manusia dan hancurnya peradaban.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
LGBT merupakan perbuatan yang
menyimpang dari ajaran agama dan juga Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. LGBT perlu dihilangkan dari kehidupan manusia karena menyalahi kodrat
manusia.
Pengaruh LGBT masuk secara halus
melalui sosial media seperti pada stiker-stiker di Whatsapp dan LINE, termasuk
pada buku pelajaran. Orangtua dan setiap orang perlu waspada supaya tidak
terjerumus budaya menyimpang ini.
2.
Saran
LGBT harus disikapi dengan wajar.
Ttidak untuk membenarkan keberadaannya tetapi untuk memulihkan kembali hal yang
menyimpang ini. Pemerintah harus tegas dalam menghadapi LGBT supaya tidak
mengganggu kenyamanan di lingkungan sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Agung, Laksono.2014.Masyarakat Indonesia dan LGBT.
Anonim. 2016. Menelisik
Perjalanan LGBT di Indonesia.
Herulono, Murtopo.2015. Penilaian Moral Kaum LGBT
Nurjito,Bambang.2015.Being_LGBT_in_Asia_Indonesia_Country_Report_Bahasa_language.pdf.
Muhammad, Saleh.2015.Awas
! LGBT Mengancam Mahasiswa.
Diakses dari http://www.hidayatullah.com/artikel/mimbar/read/2015/12/12/85265/awas-lgbt-mengancam-mahasiswa.html
Langganan:
Postingan (Atom)