Makna
Sebuah Kata-Kata
Oleh :
Intan Laksitadewi X7 / 17
“Mah..!
kenapa kaos kakiku ada di ember cucian sih? Kan hari ini mau aku pakai.” Caciku
pada mama. “Lina, kamu tahu kan, pekerjaan mama tidak hanya mengurus kamu. Kamu
mestinya bisa siapkan keperluanmu sendiri.” Lagi-lagi mama menasehatiku hal
yang sama.
Ya, begitulah keseharianku. Selalu ada saja omelan yang
keluar dari mulutku. Aku memang sudah kelas 2 SMP tapi entah apa yang salah
padaku, aku belum bisa mandiri dan mengontrol emosiku seperti temanku yang
lain. Hal yang buruk tentunya, karena jika sudah panik akibat kemalasanku, aku
selalu menyalahkan orang lain.
Dan hari ini peristiwa yang rutin terjadi
sudah kembali lagi di depan mata. Kaos kaki yang akan kupakai hari ini malah
masih nangkring dengan enaknya di ember cucian. Ini akibat ulahku pada suatu
minggu sore yang cerah. Seharusnya itu waktu terbaik untuk mencuci semua
seragam sekolah dan baju-baju rumahku. Tapi aku tergoda oleh keasyikan duniawi.
Aku bermain layangan bersama anak-anak ingusan berumur 5 tahun. Indahnya bentuk
dan warna layangan serta semilir angin menyepoi wajah membuatku lupa waktu.
Kaos-kaos kaki yang ujung jempol dan tungkainya berwarna hijau kecoklatan dan
seharusnya berwarna putih itu terlupakan juga olehku. Alhasil aku berangkat
sekolah dengan kaos kaki yang menawan warnanya.
Sepulang
sekolah, aku berniat membeli bakso yang biasa mangkal di depan sekolah. Saat
itu aku bersama seorang teman, dia juga beli bakso sama sepertiku. Sedang
asyik-asyiknya mengobrol atau lebih tepatnya bergosip sambil menunggu pesanan,
tiba-tiba ada cairan lengket berwarna hitam mengenai bagian lengan kiriku.
Sepersekian detik baru kusadari tutup botol tadi itu meloncat keluar bersama
kecap-kecap yang bermuncratan. Aku kaget melihat kuah bakso pesananku yang baru
dilayani itu warnanya
hitam pekat. Bukannya merasa kasihan atau membantu membersihkan sisa kecap di
gerobak, rasa kesal dan jengkel malah perlahan muncul dari benakku. “ Lho pak,
itu gimana bakso saya kok jadi hitam pekat seperti itu. Pasti rasanya pahit !”
protesku pada bapak penjual bakso. Dengan sigap tukang bakso itu menggantinya
dengan satu porsi bakso lain. Akupun lega dan bergegas untuk pulang karena
sepertinya hujan akan segera turun. Udara dingin terasa menyerbu mendatangkan rasa
kantuk di pelupuk mata. Dari dalam bus kota kulihat titik hujan mulai membasahi
kaca jendela.
Sisa
hari ini akan kuhabiskan dengan membaca komik-komik baru yang belum sempat
kusentuh. Baru beberapa menit menikmati gambar-gambar manga yang lucu, aku
merasa haus. Aku bangun dari tempatku berbaring melangkah menuju dapur. Dengan
cepat aku menyambar gelas keramik bergambar winnie the pooh dan membuat teh
hangat yang manis. Dari dapur sayup-sayup kudengar suara orang bercengkrama,
sepertinya melalui telepon genggam. Saat berjalan hendak kembali ke kamar, ku
lihat adikku yang masih berumur 11 bulan duduk manis sambil asyik mengutak atik
sesuatu. Aku mendekat ke arahnya dan kulihat air menggenangi lantai. Kupikir
itu semacam ompol hasil ekskresi adik. Tapi sepertinya prediksiku meleset
karena kulihat kura-kura jepangku tergeletak di sebelah paha adik. Oh ternyata
adikku telah berhasil membebaskan kura-kura dari penjara akuarium mini.
Memang
dasar suasana hatiku sedang buruk, aku kehilangan kontrol. Aku mengambil
akuarium mini dari tangan mungil adik dan mengembalikan kura-kura malang itu ke
kandangnya. “Kak Ira, niat jagain adik atau mau ngapain sih? Ini adiknya disini
kakak kemana aja? Malah sibuk sendiri nggak jelas. Tuh liat lantai basah semua,
pokoknya aku nggak mau tahu!” aku mengomel sambil berlalu meninggalkannya. Aku
menangkap siluet kakak yang melongo didepan pintu dan kemudian cemberut melalui
ekor mataku. “Kamu sendiri gimana hah? Kamu juga asyik dengan urusanmu sendiri.
Kata-katamu itu nggak sesuai sama keadaanmu. Jangan nasehatin orang lain kalau
kamu sendiri belum bisa melakukan hal yang sama, ntar kamu bakal nyesal kalau
selalu bicara tanpa dipikir !” teriak kak Ira.
Sampai
di kamar aku mengurungkan niat untuk melanjutkan membaca komik. Aku sedikit
gelisah dihantui kata-kata kak Ira tadi. Memang rasanya benar juga setiap kali
aku marah pasti akhirnya diikuti rasa sesal. Kadang aku capek juga harus
marah-marah setiap hari. Acap kali aku berimajinasi, mungkin saja ada selapis
es abadi yang bisa menyelimuti hatiku. Hingga membuat hatiku selalu dalam
balutan kesejukan tanpa ada rasa marah yang membara seperti api.
Hari
sepertinya cepat sekali berlalu. Aku tenggelam bersama padatnya kesibukan
belajar di sekolah menjelang ujian akhir. Huru-hara, guyonan, dan lelucon di
dalam kelas seolah terasa pudar seiring berjalannya waktu. Waktu yang membawaku
menuju ke pertambahan usia, yang otomatis menempatkanku dalam pusaran euforia
remaja. Kebiasaan marahku masih berlanjut disana. Pada suatu hari, temanku yang
bernama Osha dengan mata berbinar bercerita bahwa ia sedang jatuh hati pada
seseorang. Betapa terkejutnya aku karena Osha menyukai lelaki yang sama
denganku. Aku sendiri tak pernah menceritakan hal ini. Tapi saat Osha curhat
tentang perasaannya, aku jadi marah besar dan akupun mencari-cari alasan untuk
bisa menjauh darinya. Aku sangat membencinya kala itu.
“ Sha, kamu bisa kan jangan dekatin aku?” aku
mulai bicara dengan emosiku yang meluap-luap sampai air mataku hampir menetes.
“ Aku bosen tau gak sama kamu. Setiap kali aku jalan, ke toilet, ke kantin
selalu ada kamu. Masih banyak kok orang lain yang bisa kamu ajak
curhat-curhatan tentang gebetanmu itu. Aku capek dengerinnya.” Ucapanku kali
ini sungguh yang paling kejam dan tidak mempedulikan perasaannya. Saat itu
pastilah jika aku menjadi tokoh dalam sebuah cerita, akulah yang menjadi tokoh
paling jahat dan dibenci oleh pembacanya. Aku mengatur langkahku supaya
cepat-cepat kembali ke kelas. Saat aku lihat dia duduk di bangku belakangku,
aku hanya mendiamkannya dan tidak menganggapnya ada. Padahal akupun sadar bahwa
dia sama sekali tidak salah, karena dia tidak akan pernah tahu apa yang
kupikirkan jika aku tidak mengatakannya. Tapi aku tidak mau tahu, aku
mengutamakan egoku dan hubungan persahabatan kamipun mulai renggang.
Ujian
sekolah berlangsung selama seminggu. Aku lega atas hasil yang kuperoleh meski
nilaiku belum menjadi yang paling baik di sekolah. Tapi ada satu hal yang
mengganjal perasaanku. Jujur, semenjak Osha “menghilang” dari kehidupanku aku
merasa hampa kesepian. Perlahan sesalku mulai muncul. Bertambah pula sesalku
ketika membayangkan dulu saat aku mengabaikannya. Bahkan Osha pun tak tahu
dimana letak kesalahannya, jika aku ditanyapun aku pasti akan bingung
menjawabnya. Karena aku menjauhinya hanya karena tak ingin punya saingan dalam
hal yang konyol dan sama sekali tidak penting itu.
Kini
setelah ku pikirkan selama beberapa hari belakangan aku mengambil sebuah
keputusan. Aku akan meminta maaf padanya. Akan kubuang segala ego hatiku dan
rasa gengsiku. Bahkan akupun berjanji jika nanti dia tidak menerima ketulusan
maafku aku akan terus mencoba. Harus kudapatkan maaf darinya karena kini aku
tahu betul, akulah yang salah dalam hal ini. Dan aku akan berdosa jika tidak
mampu memperbaiki kesalahanku.
Bis
kota melaju dengan kencangnya dan menurutku ini sedikit ugal-ugalan, tidak
wajar memang. Tapi aku senang karena bis itu aku jadi tidak terlambat. Awalnya
aku mengira akan telat masuk karena aku bangun dan beranjak dari tempat
tidur sekitar pukul 06.10 . Kebiasaan
burukku rupanya mulai kambuh lagi.
Dengan
berlari-lari kecil aku menuju kelasku, kelas 3A. Aku memandang sekeliling.
Kelas baru, teman baru, guru baru, dan semangat baru mewarnai awal pagi ini.
Tak kusangka aku kembali berada dalam satu kelas bersama Osha. Dia duduk di
bangku depan kelas sedang bercengkrama dengan seorang teman, temanku juga
rupanya. Aku ingin segera menyelesaikan misiku. Dan dengan senyum yang khas dan
kurindukan selama ini, Osha menerima maafku.
“Iya nggak masalah kok Lin. Aku udah lama
maafin kamu, tapi aku maunya kamu minta maaf dulu biar kamu tahu bahwa
kata-kata yang sering keluar saat kamu marah itu menyakitkan hati orang. Aku
harap kamu nggak ngulangin itu lagi.” Katanya sambil meneguk sebotol jus jeruk yang
ada di tangannya. “Oh iya, kamu mestinya tahu satu hal. Saat kamu mulai
menghindariku, aku mencari tahu apa sebabnya. Dan terbukalah semuanya. Aku tahu
kamu juga suka sama kak Rio, makanya mulai saat itu aku membuang rasaku pada
kak Rio biar bisa menjaga persahabatan kita. Tapi apa boleh buat kamu keras
kepala nggak mau lagi temenan sama aku. Ya sudah, aku bisa apa?” katanya sambil
cemberut yang di buat-buat.
Aku
tidak bisa berkata-kata lagi. Malah perlahan titikan air mata mulai membasahi
pipiku. Aku merasa jadi anak umur 2 tahun yang cengeng. Sebenarnya aku malu,
tapi luapan bahagiaku tidak bisa terbendung.
Kini
aku tahu, makna sebuah kata itu sangat dalam. Aku pernah mendengar sebuah
cerita. Jika kita marah anggaplah kita menancapkan paku pada sebuah balok kayu.
Kata maaf ibarat bisa menghilangkan paku-paku itu dari kayu. Tapi bekas dari
tancapan paku itu tak akan bisa hilang dan itu ibarat seseorang yang telah kita
sakiti hatinya dari kata yang terlontar saat kita marah. Meski maaf telah
tercapai tapi perkataan kita yang menyakitkan akan tetap berbekas di hati sampai
kapanpun. Maka maknailah setiap kata dengan berucap hal yang positif dan
menyenangkan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar